Senin, 26 Januari 2009

Masyarakat yang ( makin ) Sakit

*Oleh: Nalini Muhdi
"Betul-betul ini sudah zaman edan!" kata pembantu saya yang juga ibu dua anak. "Masak ada ibu ngajak bareng mati keempat anaknya...." Matanya nanap memelototi televisi yang menyiarkan berita seorang ibu di Kota Malang membunuh keempat anaknya, lantas dia sendiri menyusul anak-anaknya itu ke alam baka. Peristiwa itu terjadi hari Minggu (11/3/2007).


Tragis.
Rasanya akhir-akhir ini berita orang bunuh diri atau membunuh orang lain bertubi-tubi disuguhkan dalam keseharian kita. Apa yang salah dengan kita?
Keseimbangan yang terganggu
Ibu yang mengakhiri hidup dengan mengajak keempat anaknya mati itu (homicide and suicide), apa pun alasannya, tak bisa dibenarkan. Hal itu adalah sebuah tindakan agresi.
Mengutip teorinya Karl Menninger, ada tiga komponen permusuhan (hostility) dalam bunuh diri, yaitu keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh; dan keinginan untuk mati. Dan itu mungkin terjadi pada ibu itu.
Apa pun, bunuh diri adalah suatu tindakan di mana seseorang telah kehilangan mekanisme kontrol diri. Sebuah komponen mahapenting untuk ketenteraman hidup umat manusia. Jadi, tak bisa dikatakan, hal itu semata-mata disebabkan tekanan ekonomi atau karena kondisi kesehatan anaknya yang memburuk.
Di antara kita, siapakah yang tak pernah dihantam masalah? Pernyataan permisif itu hanya akan menjadi pembenaran bagi orang-orang yang sedang kalut dan bingung untuk melakukan hal serupa, paling tidak memberi inspirasi. Pembenaran yang ujung-ujungnya akan diidentifikasi sebagai jalan keluar yang instan. Segampang orang memperkaya diri lewat cara korupsi atau "memalak" orang lain lewat suap.
Bunuh diri bukan karena faktor tunggal. Begitu kompleks psikopatologi yang melatarbelakanginya. Namun, yang lebih penting, bagaimana mencegahnya.
Menurut WHO, di seluruh dunia, setiap tahun lebih dari satu juta orang meninggal karena bunuh diri. Angka ini jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Angka itu menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia. Sebagian besar punya dasar gangguan mental-emosional, khususnya gangguan depresi. Indonesia ditengarai menjadi wilayah yang amat rentan akan terjadi ledakan angka gangguan jiwa di tahun-tahun mendatang. Akankah kita masih bersedeku tangan? Lalu kembali panik plus reaktif bila prediksi itu sudah benar-benar terjadi.
Indikator taraf kesehatan mental masyarakat yang memburuk itu kian terasa nyata. Manifestasinya terdapat dalam gangguan perilaku dan kepribadian. Indikator itu benar-benar kian jelas terpampang dalam kehidupan. Meningkatnya kejadian bunuh diri, kejahatan dan kekerasan, kerusuhan dan kebrutalan, atau amuk massa, pemakaian napza, kekerasan dalam rumah tangga, angka delinkuensi dan kriminalitas, serta meningkatnya gangguan jiwa terasa semakin meningkat. Sayang, angkanya sulit dipastikan (kita lemah dalam data dan penelitian yang akurat), tetapi bentuknya bisa dirasakan dalam perubahan perilaku serta perasaan.

Alarm sudah berbunyi
Semua itu amat jelas mengindikasikan alarm taraf kesehatan mental masyarakat sudah berbunyi. Bahaya menghadang, terutama menggerogoti kualitas hidup kita, yang akhirnya mengancam pertahanan bangsa. Relakah kita bila bangsa ini amblas dimakan zaman? Cuma menjadi pengemis bantuan dan tak berdaya atau makin mudah meradang. Manusia yang kalah.
Perubahan yang amat cepat dan menekan dalam semua sendi kehidupan, sering kali tidak terduga, apalagi tidak ada antisipasi yang sistematis sebelumnya di negeri ini, jelas akan mengganggu ekuilibrium, merobek ketenangan dan kedamaian hidup.
Tiap hari kita menyaksikan suguhan berita yang mengusik kepedulian. Kecelakaan alat transportasi, bencana alam murni maupun akibat ulah manusia sampai munculnya banjir hebat atau semburan lumpur, ketidakadilan, sikap kemaruk dan ketidakpedulian pemimpin pada jeritan rakyat yang menderita, jurang kaya-miskin yang kian menganga, penyakit yang merajalela, kriminalitas dan sederet "racun" yang mengguyuri otak kita pelan-pelan. Siapa yang tak terusik ketenteramannya?
Pelan tetapi pasti, berbagai stresor itu mengguncang kekebalan mental kita. Mulai dari tekanan, konflik, frustrasi, sampai krisis, lengkap mendera dan mengisi hidup keseharian kita beberapa tahun belakangan. Ditambah coping style mechanism yang tak terlatih baik dalam menghadapi kesulitan, karena sering penyelesaiannya tidak berorientasi pada masalah (kita sering cuma saling menyalahkan, mencari kambing hitam, mencari pembenaran, menghindar, menyangkal kenyataan, dan sebagainya), betul-betul kian membuat kita terpuruk.
Kemiskinan dan kebodohan memang sumber penderitaan dan masalah. Namun, ketidakpastian masa depan serta ketidakadilan ternyata lebih hebat dampaknya bagi keseimbangan jiwa. Ketidakpastian lebih menyakitkan dari kenyataan paling getir sekalipun.
Bisakah pemimpin masyarakat mampu memberi kepastian hidup yang agak melegakan napas, bukan sekadar janji-janji yang ternyata hanya pepesan kosong? Membuat tumpukan sampah kekecewaan masyarakat kian menumpuk yang akhirnya tumpah dalam bentuk keputusasaan, yang menurut Aaron Beck, menjadi indikator paling bermakna dari tingginya risiko bunuh diri dalam jangka panjang. Tentu saja keputusasaan inilah bibit dari munculnya gangguan depresi.
Salah satu gejala depresi bisa muncul dalam bentuk agresi yang beragam. Agresi yang dibelokkan ke dalam (inward) berupa perilaku yang membahayakan diri sendiri sampai bunuh diri ataupun yang ditujukan keluar (outward) berupa perilaku kekerasan kepada orang lain. Secara kolektif bisa muncul sebagai tindakan anarki atau orang awam kerap menyebut sebagai "amok masal".


Kepedulian sosial
Sesungguhnya kita masih mempunyai asa asal segera menyadari dan bertindak. Kepedulian kepada sesama kembali dikuatkan. Bukan hanya kepedulian sesaat dan reaktif-emosional yang sering diperlihatkan saat suatu wilayah sedang dilanda bencana. Kepedulian yang dimaksud adalah yang terus-menerus inheren dengan napas kehidupan kita. Kita mempunyai potensi itu, mulai dari kepedulian pada tetangga, teman, keluarga, yang akhirnya mengerucut ke atas sebagai kepedulian pemimpin kepada rakyatnya.
Kita mempunyai akar budaya, sistem sosial, serta nilai-nilai kehidupan yang menguntungkan untuk bisa mencegah fenomena ini bertambah buruk. Asal dimobilisasi secara proporsional, lebih penting lagi, ada kemauan bertindak.
Penelitian menunjukkan, seseorang ternyata sering melaksanakan niatnya untuk mati saat mereka tidak memiliki dukungan sosial dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Perasaan teralienasi dan tak berdaya kerap menjadi beban yang tak tertanggungkan pada orang-orang tertentu.
Jadi, niat untuk mengakhiri hidup sebetulnya bisa dicegah. Dari celah inilah sebetulnya kita bisa memulai langkah antisipasi yang mendasar, apa pun bentuknya. Plus meningkatnya kesadaran pemerintah dan masyarakat pada kesehatan mental (mental health), sepenting mereka memandang taraf kesehatan fisik. Sebelum keburu meledak dan kecolongan lagi.
Ada apa dengan kita? Ketika kebanyakan masyarakat kian terimpit ruang yang pengap, dan masa depan kabur tak tertembus cahaya kepastian, ternyata keadilan terasa menjauh. Berharap tergugahnya sikap empati pemimpin kita dan masyarakat untuk segera tergerak dengan pertanyaan "tanya kenapa dan mengapa" (bukan sekadar menyesalkan apa yang terjadi dan lantas terlupakan), kemudian mengantisipasinya dengan sigap.
Kita merindukan hal itu.


http://kompas.com/kompas-cetak/0703/17/opini/3394714.htm
Nalini Muhdi Psikiater, Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Pusat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar