Selasa, 27 Januari 2009

Pria Berjari Manis Lebih Panjang, Lebih Pintar Cari Uang

UKURAN jari seorang pria ternyata menggambarkan apakah seseorang pintar cari uang atau tidak. Demikian sebuah penelitian mengungkap.
Para ilmuwan dari Cambridge University menemukan bahwa para pialang yang bekerja di bursa-bursa saham memiliki jari manis lebih panjang daripada jari telunjuk. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih pintar mencari uang.
Hubungan ini bisa jadi terkait dengan paparan testosteron saat mereka berada dalam kandungan. Demikian catatan dari National Academy of Science mengungkap.
Paparan inilah yang memungkinkan adanya kemampuan untuk membuat keputusan dengan cepat yang juga ternyata terkait dengan sifat agresi.
Indeks rasio jari manis dengan jari telunjuk yang ditentukan dalam kandungan sebelumnya juga dikaitkan dengan sukses dalam kompetisi olahraga.
Sang peneliti, John Coates dan timnya melaporkan, tahun lalu terbukti juga, testosteron yang tersisa di pagi hari dalam jumlah lumayan besar ini berhasil berhasil membuat para pialang mencetak uang dari hasil transaksi yang dilakukan pada pagi hari itu juga.
Temuan ini disimpulkan berdasar pada penelitian atas 44 pria pialang di London. Beberapa di antaranya dapat menghasilkan pemasukan lebih dari 4 juta poundsterling setahun.
Lebih dari 20 bulan para pialang dengan jari manis lebih panjang ini 'mencetak' uang sebelas kali daripada yang jari manisnya relatif lebih pendek.
Para ilmuwan yakin bahwa paparan agresi hormon testosteron dalam kandungan inilah yang meningkatkan kemampuan konsentrasi dan refleks bisnis.
Sayang, para ilmuwan Belgia justru menemukan bahwa proa dengan jari manis lebih panjang cenderung kurang memiliki rasa sosial. Mereka lebih pelit. Sebaliknya, mereka yang jari manis lebih pendek cenderung lebih mudah bagi-bagi uang.
Ketua peneliti, Kobe Millet, mengatakan, "Hasil temuan ini menyatakan kepada kita bahwa kadar testosteron yang terekspos sejak lahir memengaruhi seluruh perilaku manusia sepanjang hidupnya."
Penelitian yang mirip juga terlihat pada perempuan.

dari Airputih

Cerita yang ditulis seorang ibu bernama Lesminingtyas ini saya dapatkan dari milis AirPutih. Intinya, berisi tanya jawab sang anak dengan psikolog. Karena sang anak dianggap bermasalah di sekolahnya. Dengan beberapa pengeditan, begini ceritanya…

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas). Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok inilah yang perlu didalami. Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali seminggu lagi untuk menjalani test kepribadian.Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang orangtua yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin ibuku :….” Dika menjawab “membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja”. Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika bermain bebas.Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan bermain puzzle, kapan bermain basket, kapan membaca buku cerita, kapan main game di komputer dan sebagainya. Tetapi ternyata permintaan Dika sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku …” Dika menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya, “Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu”.Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku tidak …” Maka Dika menjawab, “Menganggapku seperti dirinya”. Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak…” Dika menjawab, “Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa”. Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku berbicara tentang…” Dika menjawab, “Berbicara tentang hal-hal yang penting saja”. Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya.
Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang…”, Dika menuliskan, “Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku”. Keinginan Dika sederhana, ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku setiap hari…” Dika berpikir sejenak, kemudian menulis dengan lancar “Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”.Kadang saya pikir Dika sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap hari…” Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata, “Tersenyum”. Seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku…” Dikapun menuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”. Saya tersentak! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawadiambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata “Tole”, kependekan dari kata “Kontole” yang berarti alat kelamin laki-laki.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku…” Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”.Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling” kata suami saya.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan

Sumber : wandi.web.id

Senin, 26 Januari 2009

Teori Carl Gustav Jung

* Oleh : Arif Handono

Siapa Carl Gustav Jung

Jung dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswil dan meninggal pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnach, Swiss. Ia lulus dari Fakultas kedokteran Universitas Basle pada tahun 1900. Pada tahun 1923 ia berhenti menjadi dosen untuk mengkhususkan dirinya dalam riset-riset. Sejak 1906 ia mulai tulis menulis surat kepada Sigmund Freud yang baru dijumpainya pertama kali setahun kemudian yakni tahun 1907. Pertemuan yang terjadi di Wina tersebut sangat mengesankan kedua belah pihak, sehingga terjadi tali persahabatan antara mereka. Freud begitu menaruh kepercayaan kepada Jung, sehingga Jung dianggap sebagai orang yang patut menggantikan Freud di kemudian hari (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 186-187).

Carl Gustav Jung adalah murid Sigmund Freud. Freud adalah adalah penggagas psikoanalisa yang merupakan seorang Jerman keturunan Yahudi. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1865 di Freiberg, dan pada masa bangkitnya Hitler ia harus melarikan diri ke Inggris dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939 (Sarlito Wirawan Sarwono, 1978: 175).

Meskipun mengambil beberapa pendapat gurunya, ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Freud, terutama karena gurunya tersebut terlalu menekankan pada seksualitas dan berorientasi terhadap materialistis dan biologis di dalam menjelaskan teoriteorinya


Doktrin Jung

Doktrin Jung yang dikenal dengan psikologi analitis (analytical psychology), sangat dipengaruhi oleh mitos, mistisisme, metafisika, dan pengalaman religius (Yadi Purwanto, 2003: 121). Ia percaya bahwa hal ini dapat memberikan keterangan yang memuaskan atas sifat spiritual manusia, sedangkan teori-teori Freud hanya berkecimpung dengan hal-hal yang sifatnya keduniaan semata. (Carl Gustav Jung, 1989: 10.)

Jung mendefinisikan kembali istilah-istilah psikologi yang dipakai pada saat itu, khususnya yang dipakai oleh Freud. Ego, menurut Jung, merupakan suatu kompleks yang terletak di tengah-tengah kesadaran, yakni keakuan.

Istilah Freud lainnya yang didefinisikannya kembali adalah libido. Bagi Jung, libido bukan hanya menandakan energi seksual, tetapi semua proses kehidupan yang penuh energi: dari aktivitas seksual sampai penyembuhan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92).

Id, ego, dan superego, adalah istilah istilah yang tak pernah dipakai oleh Jung. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah conciousness (kesadaran), personal unconciousness (ketidaksadaran pribadi), dan collective unconciousness (ketidaksadaran kolektif

Conciousness dan personal unconciousness sebagian dapat diperbandingkan dengan id dan ego, tetapi terdapat perbedaan yang sangat berarti antara superego-nya Freud dengan collective unconciousness, karena Jung percaya bahwa yang terakhir ini adalah wilayah kekuatan jiwa (psyche) yang paling luas dan dalam, yang mengatur akar dari empat fungsi psikologis, yaitu sensasi, intuisi, pikiran, dan perasaan. Selain itu, juga mengandung warisan memori-memori rasial, leluhur dan historis.

Untuk dapat mengerti aspek-aspek metafisik dalam teori mimpi Jung, menurut penulis kita harus menelusuri dan memahami berbagai terma yang biasa dipakai oleh Jung di dalam menguraikan teori mimpinya.

Archetype dan Autonomous Complex

Dalam psikologi Jung, ketidaksadaran kolektif dapat terdiri atas komponen komponen dasar kekuatan jiwa yang oleh Jung disebut sebagai archetype. Archetype merupakan konsep universal yang mengandung elemen mitos yang luas. Konsep archetype ini sangat penting dalam memahami simbol mimpi karena ia menjelaskan kenapa ada mimpi yang memiliki makna universal, sehingga bisa berlaku bagi semua orang. Dan ada pula mimpi yang sifatnya pribadi dan hanya berlaku untuk orang yang bermimpi saja. Jung memandang archetype ini sebagai suatu autonomous complex, yaitu suatu bagian dari kekuatan jiwa yang melepaskan diri dan bebas dari kepribadian. Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 92)

Bagi Jung pandangan Freud terlalu menjagokan pandangan seksualitas dan orientasi yang mekanistis-biologis. Jung mengajak psikolog untuk meyakini asumsi dasar yang berbeda, ia menyatakan bahwa manusia selalu terkait erat dengan mitos, hal mistis, metafisis, dan pengalaman religius.

Jung melihat manusia sebagai makhluk biologis yang jiwanya berkait erat dengan pola-pola primordial. Manusia memang memiliki aspek kesadaran dan ketidaksadaran bahkan kumpulan kolektif ketidaksadaran yang berbeda dengan dorongan Id menurut Freud. Dengan adanya ketidaksadaran kolektif, manusia memiliki sifat universal dalam hal sensasi, suara qalbu, pikiran dan perasaan.

Argumentasi yang diajukan adalah bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama, ras keturunan dari satu induk dan dengan demikian memiliki akar historis yang relatif sama. Evolusi manusia tidak sepenuhnya menghilangkan dasar memori yang terwariskan dari nenek moyang.

Jung menyatakan hal tersebut sebagai arketif-arketif (archetypes) yang menjadi dasar dari jiwa manusia.

Persona

Personal autonomous complex atau archetype dipandang oleh Jung sebagai bagian dari dari kekuatan jiwa. Ia menyebutnya sebagai persona, bayang-bayang, anima, dan animus (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 87-88). Hal-hal inilah yang muncul dalam mimpi, dalam bentuk figur-figur yang dikenal atau tidak dikenal oleh orang yang bermimpi.

Persona adalah wajah yang ditampilkan oleh individu. Persona merupakan kepribadian yang sadar, yang dapat diidentikkan dengan ego-nya Freud. Dalam mimpi, ia muncul dalam bentuk sesosok figur yang melambangkan aku dalam suasana tertentu. Kadang-kadang, dapat berupa seorang tua yang keras, wanita bijak, orang gagah, badut, atau anak kecil. Inilah perilaku dari dari pikiran penghasil mimpi kita. Kadang kala, dalam mimpi, hal ini akan diimbangi dengan sebuah karakter yang memainkan peran yang berlawanan. Contohnya, seseorang yang dalam keadaan sadar sebagai sosok yang bermoral, ketika di dalam mimpi bisa jadi berupa seorang bajingan atau sebaliknya.

Bayang-bayang

Sisi kuat dari kepribadian seorang individu biasanya mendominasi seluruh persona. Aspek-aspek yang lebih lemah dominasinya hanya menjadi bayangbayang diri. Jung mengistilahkannya dengan autonomous complex atau archetype yang lain, yang muncul ke permukaan di dalam mimpi. Kadang-kadang, naluri dan desakan diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang, bersama perasaan perasaan negatif dan destruktif. Ia dapat berupa satu sosok yang mengancam, yang menyamar sebagai seseorang yang tidak disukai oleh orang-orang yang bermimpi.

Satu cara untuk mengenali bayang-bayang figur di dalam sebuah mimpi adalah dengan mengamati reaksi dan perasaan kita yang paling negatif terhadap seseorang atau suasana tertentu, karena hal yang paling tidak kita sukailah yang membentuk inti dari bayangan tersebut.

Anima dan Animus

Anima dan animus adalah istilah yang dibuat oleh Jung untuk menggambarkan karakteristik dari seks yang berlawanan, yang ada dalam setiap diri laki-laki dan perempuan. Anima adalah sifat kewanitaan yang tersembunyi di dalam diri laki-laki, sedangkan animus adalah sifat kelaki-lakian yang tersembunyi dalam diri perempuan (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94-96).

Anima adalah pusat kasih sayang, emosi, naluri, dan intuisi dari sisi kepribadian laki-laki. Archetype ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh perempuan yang dikenali oleh seorang laki-laki dalam hidupnya, khususnya ibunya sendiri. Bergabungnya sifat tersebut ke dalam kepribadiannya memungkinkan seorang laki-laki untuk mengembangkan sisi sensitif dari tabiatnya, sehingga memungkinkannya untuk menjadi individu yang tidak terlalu agresif, baik hati, hangat dan penuh pengertian. Memungkiri atau menekan anima
mengakibatkan timbulnya sifat keras kepala, keras, kaku, dan bahkan kejam secara fisik maupun emosi.

Animus adalah sisi praktis, independen, percaya diri, dan keberanian mengambil resiko dari kepribadian wanita. Sebagai sebuah archetype, hal ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh laki-laki yang dikenal oleh seorang wanita di dalam hidupnya, terutama ayahnya sendiri. Bergabungnya sifat ini ke dalam memungkinkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, pengelola yang baik, dan pencari nafkah. Namun, jika seorang wanita mengabaikan aspek-aspek ini dalam dirinya, maka ia menjadi cengeng, tergantung, cerewet, dan tidak aman.


Dengan adanya kesepakatan terhadap archetype ini, memungkinkan lakilaki dan wanita dapat memahami dengan lebih baik terhadap lawan jenisnya. Hal ini juga akan memberdayakan mereka untuk memperluas dan mengembangkan kemampuan mereka secara maksimal. Munculnya anima atau animus dalam mimpi seseorang menunjukkan integrasi kepribadian. Oleh Jung, integrasi ini disebut sebagai proses individuasi (Carl Gustav Jung, 1989: 16-17)


Diri yang "Ideal"

Diri, sebagai sebuah archetype mewakili tabiat ideal dan spiritual dari lakilaki dan wanita. Ketika diri muncul di dalam mimpi, biasanya menunjukkan bahwa proses individuasi telah selesai. Dalam mimpi seorang laki-laki, diri muncul sebagai laki-laki tua yang bijak. Dalam mimpi seorang wanita, figur ini berwujud ibu yang agung. Masing-masing dari figur ini memiliki empat aspek yang mewakili empat sifat dari kekuatan jiwa, yakni kecerdasan, emosi, kepraktisan, dan intuisi. Namun sifat-sifat ini juga memiliki aspek positif dan negatifnya (Carl Gustav Jung, 1989: 10).

Keempat aspek ganda dari kewanitaan dan kelelakian tersebut membentuk karakteristik archetype dasar dari seorang individu. Jarang sebuah aspek mendominasi sepenuhnya, namun bila hal itu sampai terjadi, maka dikenali sebagai eksentrisitas. Keseimbangan di antara keempat sifat yang posiif tadi perlu diusahakan, ditambah dengan pengenalan terhadap empat karakteristik yang berlawanan, yang dapat muncul dalam keadaan tertentu

Figur-figur archetype simbolis

Figur-figur yang muncul didalam mimpi mewakili sifat-sifat yang tersembunyi di dalam diri kita. Ini dapat disimbolkan dengan benda atau tokoh. Misalnya, laba-laba betina yang suka menyantap pejantannya ( jenis Black Widow ), menggambarkan aspek negatif dari ibu atau istri. Dongeng tentang pangeran dan puteri yang hidup berbahagia sampai akhir masa, Cinderella, dan Putri Salju, adalah gambaran sifat-sifat romantis. Ketika kita sedang mencari pasangan lain jenis, citra-citra inilah yang menyamar di alam tidur kita, seperti kata ungkapan " pria dan wanita impian" (Kohnsamm dan B.G Palland, 1984: 94 - 96).

Bagi Jung mimpi adalah upaya memanipulasi reaksi terhadap lingkungan dengan persona sebagai pemeran subyek dalam mimpi. Persona dalam mimpi dapat berwujud berbagai bentuk: figur ibu, laki-laki, perempuan ataupun seribu wajah. Persona memang dapat bersandiwara memerankan arketif, berupa bayangbayang (the shadow). Mimpi adalah gambaran adanya arketif-araketif purbakala, seolah-olah mimpi merupakan arena menemukan kembali jati diri kuno sebelum berevolusi. Jika kita mengikuti pendapat Jung, maka boleh jadi seorang bayi yang tidur sambil tersenyum, menggambarkan ia sedang bermimpi hidup di surga, suatu alam sebelum ia lahir ke bumi, karena bagi Jung mimpi indah adalah bayang-bayang pengalaman surgawi.

Terdapat pula bayang-bayang yang terbentuk dari insting hewani yang terproyeksikan dalam simbol-simbol tertentu. Sebagai misal: perasaan bersalah (dosa) diproyeksikan dalam bentuk mimpi tentang kejahatan atau musuh. Salah satu cara untuk mengenali figur yang digambarkan oleh bayangan dalam mimpi, kita perlu memeriksa reaksi yang paling negatif atau positif perasaan kita pada orang dan lingkungan di sekitar kita, baik figur ayah maupun ibu.

Pemilihan simbol-simbol mimpi dapat berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Simbol yang diperoleh dari luar merupakan simbol yang berhasil direkam oleh individu, simbol-simbol ini mudah untuk dimaknai karena terjadi dalam tataran kesadaran. Berbeda dengan simbol-simbol yang diperoleh dari internal, yakni kumpulan kolektif-ketidaksadaran, akan melahirkan mimpi yang mistis, aneh, dan karena tidak biasa menganggapnya sebagai omong kosong.

Kenyataannya, di dalam mimpi kita melakukan komunikasi dengan diri kita sendiri. Bahasa yang kita pergunakan tidaklah harus simbolik, melainkan imajinatif yang sangat kuno yang hanya dimengerti dengan bahasa sensasi, pikiran, emosi, dan memori kejiwaan arketif.
Simbol-simbol arketif ini relatif sama bagi semua manusia, karena kita mengalami masalah kehidupan yang sama, kecemasan, kesulitan, ambisi, keinginan, frustasi, insting, dan dorongan yang kesemuanya diwakili oleh bahasa imajinasi yang sama.

PENUTUP

Pada hakikatnya, mimpi adalah deretan dari gambaran mental yang saling bertalian dan berlangsung selama orang tidur. Freud dan para pengikutnya memahami mimpi hanya sebagai akibat dari pengaruh mekanisme fisik dan cermin dari gejala psikologis (kejiwaan) yang dialami seseorang semata.

Jung tidak menerima pendapat Freud yang terlalu menekankan aspek material manusia ini. Bagi Jung, kepribadian adalah paduan kompromi dari inner-life dengan dunia luar. Dengan demikian bagi Jung mimpi merupakan bukti adanya dimensi innate religious, atau kesadaran beragama yang bersifat bawaan, sebab mimpi-mimpi yang digambarkan oleh menusia purba hingga modern sekarang ini tetap menggambarkan paradigma pskologis tentang hubungan manusia dengan alam spiritual. Melalui analisa mimpi dari berbagai praktek psikologinya, ia menyimpulkan bahwa adanya kekuatan-kekuatan terpendam yang bersifat religius yang memanifestasi berupa bentuk-bentuk memuliakan, mensakralkan sesuatu di dalam kehidupan manusia (Carl Gustav Jung, 1989: 89)

DAFTAR PUSTAKA

Carl Gustav Jung, 1989, Memperkenalkan Psikologi Analitik, terj. Agus Cremers, Gramedia, Jakarta
Kohnsamm dan B.G Palland, 1984, Sejarah Ilmu Jiwa, CV Jemmers, Bandung
Mahmoud Ayoub, 1997, dalam Muhammad al-Akili, Ensiklopedia Ta'wil Mimpi Islam Ibn Sirin, terj. Eva.Y. Nukman, Pustaka Hidayah, Bandung
Nerys Dee, 2001, Memahami Mimpi, terj. Syafruddin Hasani, Pustaka Populer LkiS, Yogyakarta
Sarlito Wirawan Sarwono, 1978, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan tokoh- Tokoh Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta
Sigmund Freud, 2002, Psikoanalisis, terjemahan Ikon Titalitera, Yogyakarta
Yadi Purwanto, 2003, Memahami Mimpi, Menara Kudus, Yogjakarta

Infeksi Emosi

* Oleh : Jim Supangkat

Penelitian psikofisiologi di universitas hawaii & ohio state university,as, tentang proses penularan emosi dan perasaan. emosi bisa menular, berawal dari dorongan menirukan ekspresi fisik orang lain.
Penelitian baru menunjukkan bahwa emosi itu menular. Berawal pada gejala mimikri -seperti pada bunglon.

"SENI mempunyai sifat infectious," kata Leo Tolstoy. Ungkapan seni, menurut pujangga Rusia ini, terutama berusaha menjangkitkan kandungan emosinya kepada publik, bukan membangun pengaruh lewat pikiran.

Penjangkitan emosi dalam pendapat Tolstoy itu, walaupun dekat dengan kenyataan, dimaksudkan sebagai kiasan. Namun, Psikolog Carl Gustav Jung membenarkan teori itu. Menurut Jung, bukan hanya ekspresi seni yang berjangkit. "Emosi secara umum juga menular," kata perintis psikoanalisa modern dari Swiss itu.

Teori Tolstoy dan Jung tersebut dibuktikan belum lama ini. Dua penelitian psikofisiologi, di Universitas Hawaii dan Ohio State University, AS, berhasil menguraikan proses penularan emosi dan perasaan itu.

Kedua penelitian tersebut menemukan penjangkitan emosi dan perasaan terjadi seperti penularan penyakit. Prosesnya spontan dan tidak disadari, dalam waktu tak sampai sedetik. Ini terjadi terutama pada jarak dekat, walau bukan melalui penyebaran virus, bakteri, atau baksil.

Kendati cuma membuktikan teori lama, kedua penelitian tadi dianggap para ahli membangun pemahaman baru tentang komunikasi perasaan dan emosi di antara manusia. Penelitian ini terpilih untuk dipublikasikan di The Review of Personality and Social Psychology yang akan terbit menjelang akhir tahun ini.

Pada masa lalu, penularan perasaan yang membuat seseorang bisa merasakan perasaan orang lain itu diyakini karena "akibat terpengaruh". Proses yang disebut "simpati" ini melibatkan pikiran seseorang.

Memang terdapat kontak batin yang terjadi otomatis tanpa sebab yang jelas. Inilah penularan, yang sudah disebut Tolstoy dan Jung itu, yang tak pernah terungkap seluk-beluknya selama ini.

Hubungan emosi yang tidak bisa diuraikan sebabnya (empati) dipercaya terjadi hanya antara ibu dan anak, atau di antara saudara sekandung. Dalam bentuk sedikit berbeda, kontak emosi semacam ini terjadi pula akibat bangkitnya emosi ke tingkat histeris. Misalnya, setelah mendengar tekanan suara dan irama yang memiliki ekspresi sangat kuat dan secara bertubi-tubi.

Penelitian di Universitas Hawaii dan Ohio State University itu menghasilkan batasan penularan emosi yang lebih jelas, bahwa penularan yang ditemukan para peneliti adalah kondisi emosional dan perasaan yang persis sama dengan kondisi pada sumber penularan. Dengan demikian, istilah penularan yang mereka gunakan tidak bisa disangkal kebenarannya.

Penularan emosi berawal pada dorongan menirukan ekspresi fisik orang lain. Misalnya menirukan ekspresi wajah, sorot mata, intonasi suara, atau gerak tubuh. Ekspresi ini dikenal sangat dipengaruhi emosi serta perasaan, dan sering dikatakan sebagai "jendela jiwa".

"Dorongan menirukan ekspresi orang itu tidak bisa dikontrol sama sekali," kata Dr. John Cacciopo, koordinator penelitian di Ohio State University. Dorongan ini seperti gejala mimikri pada binatang bunglon, yaitu perubahan fisik untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar.

Jaringan saraf yang terlibat dalam reaksi mimikri itu jaringan saraf yang tidak dikendalikan pusat saraf di otak. Jaringan ini dikenal sebagai susunan saraf otonomik yang mengontrol pula detak jantung, reaksi refleks, dan ekskresi keringat.

Dalam penelitian mimikri yang terjadi otomatis itu dibuktikan oleh para peneliti dengan memonitor otot-otot muka responden. "Ketika memperhatikan ekspresi sedih atau marah, terjadilah perubahan-perubahan pada otot muka yang tidak terlihat mata," kata Cacciopo. Begitu ekspresi wajah atau gerak tubuh mengalami mimikri, emosi bahkan ikut melakukan penyesuaian. Inilah peristiwa penularan emosi. Dan proses inilah yang terjadi di bawah satu detik, di luar kesadaran responden.

Responden baru merasakan perubahan setelah emosi terakumulasi menjadi perasaan. Dr. Elaine Hathfield, pemimpin penelitian di Universitas Hawaii, meneliti khususnya bagian ini. Dari hasil wawancara intensif yang terpisah, terungkap bahwa kualitas perasaan yang menular dan tertular itu persis sama. Sementara si penular menyadari persis pangkal masalahnya, subyek yang tertular tidak sepenuhnya bisa mengindetifikasi perasaan yang dirasakannya.

Elaine Hathfield menyebutkan kepekaan tertular tidak sama pada tiap orang. "Kepekaan ini ada hubungannya dengan kemampuan sosialisasi," kata psikolog itu. Mereka yang tidak mudah tertular, bahkan mengalami kesulitan mensinkronkan perasaan, menurut dia, mempunyai masalah dalam berkomunikasi.

Hubungan penularan emosi dengan kemampuan sosialisasi adalah bagian sangat penting dalam penelitian Hathfield. Metode dan perangkat tesnya diharapkan di kemudian hari bisa digunakan untuk mengukur kondisi kejiwaan secara umum.

Masyarakat yang ( makin ) Sakit

*Oleh: Nalini Muhdi
"Betul-betul ini sudah zaman edan!" kata pembantu saya yang juga ibu dua anak. "Masak ada ibu ngajak bareng mati keempat anaknya...." Matanya nanap memelototi televisi yang menyiarkan berita seorang ibu di Kota Malang membunuh keempat anaknya, lantas dia sendiri menyusul anak-anaknya itu ke alam baka. Peristiwa itu terjadi hari Minggu (11/3/2007).


Tragis.
Rasanya akhir-akhir ini berita orang bunuh diri atau membunuh orang lain bertubi-tubi disuguhkan dalam keseharian kita. Apa yang salah dengan kita?
Keseimbangan yang terganggu
Ibu yang mengakhiri hidup dengan mengajak keempat anaknya mati itu (homicide and suicide), apa pun alasannya, tak bisa dibenarkan. Hal itu adalah sebuah tindakan agresi.
Mengutip teorinya Karl Menninger, ada tiga komponen permusuhan (hostility) dalam bunuh diri, yaitu keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh; dan keinginan untuk mati. Dan itu mungkin terjadi pada ibu itu.
Apa pun, bunuh diri adalah suatu tindakan di mana seseorang telah kehilangan mekanisme kontrol diri. Sebuah komponen mahapenting untuk ketenteraman hidup umat manusia. Jadi, tak bisa dikatakan, hal itu semata-mata disebabkan tekanan ekonomi atau karena kondisi kesehatan anaknya yang memburuk.
Di antara kita, siapakah yang tak pernah dihantam masalah? Pernyataan permisif itu hanya akan menjadi pembenaran bagi orang-orang yang sedang kalut dan bingung untuk melakukan hal serupa, paling tidak memberi inspirasi. Pembenaran yang ujung-ujungnya akan diidentifikasi sebagai jalan keluar yang instan. Segampang orang memperkaya diri lewat cara korupsi atau "memalak" orang lain lewat suap.
Bunuh diri bukan karena faktor tunggal. Begitu kompleks psikopatologi yang melatarbelakanginya. Namun, yang lebih penting, bagaimana mencegahnya.
Menurut WHO, di seluruh dunia, setiap tahun lebih dari satu juta orang meninggal karena bunuh diri. Angka ini jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Angka itu menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia. Sebagian besar punya dasar gangguan mental-emosional, khususnya gangguan depresi. Indonesia ditengarai menjadi wilayah yang amat rentan akan terjadi ledakan angka gangguan jiwa di tahun-tahun mendatang. Akankah kita masih bersedeku tangan? Lalu kembali panik plus reaktif bila prediksi itu sudah benar-benar terjadi.
Indikator taraf kesehatan mental masyarakat yang memburuk itu kian terasa nyata. Manifestasinya terdapat dalam gangguan perilaku dan kepribadian. Indikator itu benar-benar kian jelas terpampang dalam kehidupan. Meningkatnya kejadian bunuh diri, kejahatan dan kekerasan, kerusuhan dan kebrutalan, atau amuk massa, pemakaian napza, kekerasan dalam rumah tangga, angka delinkuensi dan kriminalitas, serta meningkatnya gangguan jiwa terasa semakin meningkat. Sayang, angkanya sulit dipastikan (kita lemah dalam data dan penelitian yang akurat), tetapi bentuknya bisa dirasakan dalam perubahan perilaku serta perasaan.

Alarm sudah berbunyi
Semua itu amat jelas mengindikasikan alarm taraf kesehatan mental masyarakat sudah berbunyi. Bahaya menghadang, terutama menggerogoti kualitas hidup kita, yang akhirnya mengancam pertahanan bangsa. Relakah kita bila bangsa ini amblas dimakan zaman? Cuma menjadi pengemis bantuan dan tak berdaya atau makin mudah meradang. Manusia yang kalah.
Perubahan yang amat cepat dan menekan dalam semua sendi kehidupan, sering kali tidak terduga, apalagi tidak ada antisipasi yang sistematis sebelumnya di negeri ini, jelas akan mengganggu ekuilibrium, merobek ketenangan dan kedamaian hidup.
Tiap hari kita menyaksikan suguhan berita yang mengusik kepedulian. Kecelakaan alat transportasi, bencana alam murni maupun akibat ulah manusia sampai munculnya banjir hebat atau semburan lumpur, ketidakadilan, sikap kemaruk dan ketidakpedulian pemimpin pada jeritan rakyat yang menderita, jurang kaya-miskin yang kian menganga, penyakit yang merajalela, kriminalitas dan sederet "racun" yang mengguyuri otak kita pelan-pelan. Siapa yang tak terusik ketenteramannya?
Pelan tetapi pasti, berbagai stresor itu mengguncang kekebalan mental kita. Mulai dari tekanan, konflik, frustrasi, sampai krisis, lengkap mendera dan mengisi hidup keseharian kita beberapa tahun belakangan. Ditambah coping style mechanism yang tak terlatih baik dalam menghadapi kesulitan, karena sering penyelesaiannya tidak berorientasi pada masalah (kita sering cuma saling menyalahkan, mencari kambing hitam, mencari pembenaran, menghindar, menyangkal kenyataan, dan sebagainya), betul-betul kian membuat kita terpuruk.
Kemiskinan dan kebodohan memang sumber penderitaan dan masalah. Namun, ketidakpastian masa depan serta ketidakadilan ternyata lebih hebat dampaknya bagi keseimbangan jiwa. Ketidakpastian lebih menyakitkan dari kenyataan paling getir sekalipun.
Bisakah pemimpin masyarakat mampu memberi kepastian hidup yang agak melegakan napas, bukan sekadar janji-janji yang ternyata hanya pepesan kosong? Membuat tumpukan sampah kekecewaan masyarakat kian menumpuk yang akhirnya tumpah dalam bentuk keputusasaan, yang menurut Aaron Beck, menjadi indikator paling bermakna dari tingginya risiko bunuh diri dalam jangka panjang. Tentu saja keputusasaan inilah bibit dari munculnya gangguan depresi.
Salah satu gejala depresi bisa muncul dalam bentuk agresi yang beragam. Agresi yang dibelokkan ke dalam (inward) berupa perilaku yang membahayakan diri sendiri sampai bunuh diri ataupun yang ditujukan keluar (outward) berupa perilaku kekerasan kepada orang lain. Secara kolektif bisa muncul sebagai tindakan anarki atau orang awam kerap menyebut sebagai "amok masal".


Kepedulian sosial
Sesungguhnya kita masih mempunyai asa asal segera menyadari dan bertindak. Kepedulian kepada sesama kembali dikuatkan. Bukan hanya kepedulian sesaat dan reaktif-emosional yang sering diperlihatkan saat suatu wilayah sedang dilanda bencana. Kepedulian yang dimaksud adalah yang terus-menerus inheren dengan napas kehidupan kita. Kita mempunyai potensi itu, mulai dari kepedulian pada tetangga, teman, keluarga, yang akhirnya mengerucut ke atas sebagai kepedulian pemimpin kepada rakyatnya.
Kita mempunyai akar budaya, sistem sosial, serta nilai-nilai kehidupan yang menguntungkan untuk bisa mencegah fenomena ini bertambah buruk. Asal dimobilisasi secara proporsional, lebih penting lagi, ada kemauan bertindak.
Penelitian menunjukkan, seseorang ternyata sering melaksanakan niatnya untuk mati saat mereka tidak memiliki dukungan sosial dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Perasaan teralienasi dan tak berdaya kerap menjadi beban yang tak tertanggungkan pada orang-orang tertentu.
Jadi, niat untuk mengakhiri hidup sebetulnya bisa dicegah. Dari celah inilah sebetulnya kita bisa memulai langkah antisipasi yang mendasar, apa pun bentuknya. Plus meningkatnya kesadaran pemerintah dan masyarakat pada kesehatan mental (mental health), sepenting mereka memandang taraf kesehatan fisik. Sebelum keburu meledak dan kecolongan lagi.
Ada apa dengan kita? Ketika kebanyakan masyarakat kian terimpit ruang yang pengap, dan masa depan kabur tak tertembus cahaya kepastian, ternyata keadilan terasa menjauh. Berharap tergugahnya sikap empati pemimpin kita dan masyarakat untuk segera tergerak dengan pertanyaan "tanya kenapa dan mengapa" (bukan sekadar menyesalkan apa yang terjadi dan lantas terlupakan), kemudian mengantisipasinya dengan sigap.
Kita merindukan hal itu.


http://kompas.com/kompas-cetak/0703/17/opini/3394714.htm
Nalini Muhdi Psikiater, Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Pusat

Undang - Undang Kesehatan Jiwa, Nomor 3 Tahun 1966

UNDANG-UNDANG (UU)
Nomor: 3 TAHUN 1966 (3/1966)

Tanggal: 11 JUNI 1966 (JAKARTA)

Sumber: LN 1966/23; TLN NO. 2805

Tentang: KESEHATAN JIWA

Indeks: JIWA. KESEHATAN.


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang: bahwa perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa.

Mengingat:

(a) Pasal REFR DOCNM="60uu009" TGPTNM="ps2">2 Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan Undang-undang Tahun 1960 No.9 (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131).
(b) Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945


Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

MEMUTUSKAN:

I. Mencabut: Het Reglement op het Krankzinnigenwezen (Stbl. 1897 No. 54 dengan segala perubahan dan tambahan tambahannya).

II. Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN JIWA.

BAB I

KETENTUAN UMUM.

Pasal 1.

Yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini dengan:

(1) Kesehatan Jiwa adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu Kedokteran sebagai unsur daripada kesehatan yang dimaksudkan dalam pasal 2 Undang-undang Pokok-pokok Kesehatan (Undang-undang Tahun 1960 No. 9 Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131).

(2) Penyakit jiwa adalah sesuatu perubahan pada fungsi jiwa, yang menyebabkan adanya gangguan pada kesehatan jiwa, seperti yang dimaksudkan dalam sub (a).

Pasal 2.

(1) Usaha-usaha dalam bidang kesehatan jiwa, perawatan, pengobatan penderita dan penyaluran bekas penderita penyakit jiwa (selanjutnya disebut: sipenderita) yang dimaksudkan dalam Bab II pasal 3, Bab III pasal 4 dan Bab V Pasal 10 dilakukan oleh Pemerintah dan/atau badan swasta.

(2) Dalam usaha-usaha seperti dimaksudkan dalam ayat (1) Pemerintah perlu mengikutsertakan masyarakat.

BAB II.
PEMELIHARAAN KESEHATAN JIWA.

Pasal 3.

Dalam bidang kesehatan jiwa usaha-usaha Pemerintah meliputi:
a. Memelihara kesehatan jiwa dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
b. Menggunakan keseimbangan jiwa dengan menyesuaikan penempatan tenaga selaras dengan bakat dan kemampuannya.
c. Perbaikan tempat kerja dan suasana kerja dalam perusahaan dan sebagainya sesuai dengan ilmu kesehatan jiwa.
d. Mempertinggi taraf kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat.
e. Usaha-usaha lain yang dianggap perlu oleh Menteri Kesehatan.

BAB III.
PERAWATAN DAN PENGOBATAN PENDERITA PENYAKIT JIWA.

Pasal 4.

(1) Perawatan, pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa (selanjutnya disebut perawatan diatur oleh Menteri Kesehatan).

(2) Menteri Kesehatan mengatur, membimbing, membantu dan mengawasi usaha-usaha swasta, sesuai dengan Pasal 14 Undang-undang Pokok Kesehatan.

Pasal 5.

(1) Untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan pada suatu tempat perawatan harus ada permohonan dan salah seorang yang tersebut di bawah ini:
a. Sipenderita, jika ia sudah dewasa.
b. Suami/isteri atau seorang anggota keluarga yang sudah dewasa.
c. Wali dan/atau yang dapat dianggap sebagai sipenderita.
d. Kepala Polisi/Kepala Pamongpraja di tempat tinggal atau di daerah dimana sipenderita ada.
e. Hakim Pengadilan Negeri, bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan, bahwa yang bersangkutan adalah penderita penyakit jiwa.

(2) Petugas-petugas yang dimaksudkan dalam ayat (1) sub d mengajukan permohonan:
a. jika tidak ada orang seperti yang dimaksudkan dalam ayat (1) sub b dan c.
b. jika sipenderita dalam keadaan terlantar.
c. demi kepentingan ketertiban dan keamanan umum.

Pasal 6.

(1) Perawatan dan pengobatan atas permohonan tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub a, b dan c, diselenggarakan setelah diadakan pemeriksaan oleh dokter, yang menetapkan adanya penderita-penderita penyakit jiwa dan sipenderita perlu dirawat.

(2) Dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam, petugas yang tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub d wajib mengusahakan keterangan dari dokter bahwa yang bersangkutan memang menderita penyakit jiwa.

Pasal 7.

Jika ada keraguan apakah seseorang menderita penyakit jiwa atau tidak, Menteri Kesehatan dapat menunjuk ahli-ahli untuk menetapkannya.

Pasal 8.

(1) Seorang dalam perkara pidana, seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) sub e, dapat dirawat untuk diobservasi selama-lamanya 3 bulan.

Waktu itu dapat diperpanjang, jika dokter yang memeriksanya menganggap perlu.

(2) Jika orang yang dimaksudkan dalam ayat (1) ternyata menderita penyakit jiwa, ia segera mendapat perawatan, jika tidak, ia diserahkan kembali kepada Hakim Pengadilan Negeri yang dimaksud dalam ayat (1).

(3) Dokter tersebut dalam ayat (1) harus memberikan laporan tertulis dalam waktu 14 hari terhitung mulai tanggal dimasukkannya sipenderita ke dalam tempat perawatan kepada Hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

BAB IV.
HARTA-BENDA MILIK PENDERITA.

Pasal 9.

(1) Hakim Pengadilan Negeri setempat menetapkan, bahwa sipenderita tidak mampu mengelola sendiri harta-benda yang ada padanya miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya.

(2) Hakim yang dimaksudkan dalam ayat (1) menetapkan siapa yang berhak mengelola dan/atau mengurus harta-benda sipenderita tersebut dalam ayat (1).

(3) Penetapan Hakim yang dimaksudkan dalam ayat (1) dapat dikeluarkan atas permohonan mereka yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) sub a, b, c dan d.

BAB V.

PENAMPUNGAN BEKAS PENDERITA PENYAKIT JIWA

Pasal 10.

Pemerintah melakukan usaha-usaha untuk:
a. Melaksanakan penyaluran dalam masyarakat bagi penderita yang telah selesai mendapat perawatan.
b. Membangkitkan dan membantu kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang mempunyai tujuan untuk merehabilitasikan dan membimbing penderita.

BAB VI.
PENGAWASAN

Pasal 11.

(1) Pengawasan pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan serta penampungan penderita yang dimaksudkan dalam Bab II Pasal 3 Bab III Pasal 5, 6, 7 dan Bab V Pasal 10 dilakukan oleh Menteri Kesehatan.

(2) Usaha-usaha dalam bidang kesehatan jiwa, berdasarkan lain daripada kesehatan jiwa menurut ilmu kedokteran seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1 sub a, diawasi oleh Menteri Kesehatan.

BAB VII.
KETENTUAN PENUTUP.

Pasal 12.

Pelaksanaan Undang-undang ini dan hal-hal lain yang tidak/ belum ditetapkan dalam Undang-undang ini, dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah dan peraturan Menteri Kesehatan.

Pasal 13.

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang tentang Kesehatan Jiwa 1966."

Pasal 14.

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 1966

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 1966.

SEKRETARIS NEGARA,

MOHD. ICHSAN

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 3,TAHUN 1966
TENTANG
KESEHATAN JIWA.

PENJELASAN UMUM.
Undang-undang Kesehatan Jiwa ini adalah pelaksanaan dari pada Undang-undang Pokok Kesehatan (Undang-undang Tahun 1960 No. 9 Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131). Dengan Undang-undang ini diatur kesehatan jiwa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal I Undang-undang Pokok Kesehatan; disitu dikatakan, bahwa "kesehatan" meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial. Materi Undang-undang ini yalah: kesehatan jiwa dan penyakit jiwa.
Dalam Undang-undang ini diatur kesehatan jiwa menurut ilmu kedokteran: Undang-undang ini tidak melangkah kebidang jiwa menurut ilmu pendidikan, dan sebagainya.

Hingga sekarang hanya ada peraturan mengenai penderita penyakit jiwa yaitu: "Het Reglement op het Krankzinnigenwezen" (Stbl. 1897 No. 54 dan seterusnya). Dengan Undang- undang ini Reglement tersebut dibatalkan. Dan materi perawatan/pengobatan penderita penyakit jiwa, yang ada dalam Reglement tersebut disesuaikan dengan jiwa Undang-undang Pokok Kesehatan.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

a. Kesehatan Jiwa (mental health) menurut faham ilmu kedokteran pada waktu sekarang adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan physik, intelektuil dan emosionil yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang-orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
b. Gangguan dalam perkembangan itu seperti tersebut dalam sub a, yang menjelma sebagai perubahan dalam fungsi jiwa seseorang itu, merupakan penyakit jiwa.

Pasal 2.

Pasal ini menegaskan, bahwa usaha-usaha kuratif maupun preventif demi kepentingan penderita penyakit jiwa adalah tugas pemerintah.

Sekalipun demikian pintu terbuka bagi swasta untuk bekerja dilapangan pemeliharaan kesehatan jiwa, perawatan dan pengobatan penderita dan penampungan bekas penderita penyakit jiwa. Pemerintah (i.c. Menteri Kesehatan) menetapkan peraturan-peraturan khusus mengenai usaha swasta tersebut, serta memberikan bimbingan dan bantuan sesuai dengan Pasal 14 ayat (I ) dari Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan.

Dalam usaha untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (lihat pasal 1 Undang-undang Pokok Kesehatan Undang-undang Tahun 1960 No. 9), tiap warga negara perlu aktif ikut serta dalam usaha-usaha kesehatan. Prinsip ini dinyatakan juga (dikonkritisir) dalam bidang kesehatan jiwa (umpama masyarakat diikut-sertakan dalam usaha pendidikan mengenai pemeliharaan kesehatan jiwa).

Pasal 3.

a. Yang dimaksudkan dengan masa pendidikan adalah masa anak-anak semasa bayi, semasa sekolah dan lain sebagainya.
b. Cukup jelas.
c. Cukup jelas.
d. Ketenteraman hidup baik sprituil maupun materiil dalam lingkungan keluarganya maupun dalam hubungan dengan masyarakat, mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Se- bagai anggota dari keluarga dan masyarakat, tiap-tiap orang mempunyai peranan dan pengaruh dalam kesejahteraan keluarga dan masyarakatnya.
e. Kini sedang dalam taraf penyelidikan sampai dimana usaha demi kesehatan jiwa yang dilakukan dengan tambahan pengetahuan-pengetahuan Timur dapat dipergunakan dengan tambahan pengetahuan menurut ilmu kedokteran.

Pasal 4.

Menteri Kesehatan menetapkan peraturan-peraturan mengenai perawatan/pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa.

Usaha-usaha dari badan-badan swasta untuk mendirikan sebuah tempat perawatan harus ada ijin dari Menteri Kesehatan seperti yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dari Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan.

Pasal 5.

Yang dianggap sebagai wali umpamanya komandan suatu pasukan, pemimpin asrama, dan lain-lain orang yang menurut ketentuan hukum dapat bertindak sebagai wali.

Pasal 6.

Jika seseorang penderita diharuskan dirawat disebuah tempat perawatan, maka dilihat dari sudut hukum hak kemerdekaan (kebebasan) bergerak sipenderita dibatasi. Perbuatan demikian adalah suatu perbuatan pidana, kecuali jika pembatasan kebebasan bergerak itu berdasarkan sesuatu Undang-undang.

Maka oleh sebab itu seorang penderita hanya dapat dirawat jika ada keterangan dokter (laporan Polisi/Kepala Pamong-Praja dan Hakim Pengadilan Negeri).

Berdasarkan Undang-undang ini dokter yang menempatkan seorang penderita dalam sebuah tempat perawatan, sehingga ia membatasi hak kebebasan bergerak sipenderita, tidak melakukan suatu perbuatan pidana.

Seorang dokter yang, mengharuskan seorang penderita di- rawat disebuah Rumah Sakit Jiwa dengan menyalah gunakan kedudukan atau keahliannya dapat dihukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (pasal 333 dan seterusnya).

Untuk menetapkan apakah seorang penderita penyakit jiwa harus dirawat dan diobati disebuah tempat perawatan, harus ada surat keterangan dokter: keterangan dokter itu menerangkan hasil pemeriksaan dan pendapatnya perihal sipenderita. Menurut pasal 11 Menteri Kesehatan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan Undang-undang ini. untuk memperlindungi kepentingan sipenderita, Menteri Kesehatan mengawasi juga hasil pemeriksaan dan pendapat dokter tersebut.

Demi ketertiban, keamanan dan perikemanusiaan, petugas yang tersebut dalam pasal 5 ayat (1) sub d berkewajiban dan bertanggung jawab atas terlaksananya perawatan dan pengobatan penderita.

Pasal 7.

Mengingat ketentuan dalam pasal 1, dokter yang dimaksud dalam pasal 6 menyatakan, bahwa seseorang adalah penderita penyakit jiwa dan oleh karenanya ia perlu dirawat disuatu tempat perawatan.

Untuk menghindarkan keragu-raguan atas kebenaran pernyataan dokter tersebut diatas, Menteri Kesehatan dapat mendengar pendapat para ahli dalam hal itu.

Pasal 8.

1. Jika disesuatu perkara pidana terdapat seseorang yang memberikan kesan tidak berpikir sehat, sehingga pada hakim timbul dugaan bahwa ia seorang penderita penyakit jiwa maka Hakim tersebut dapat meminta pendapat seorang dokter. Orang itu dikirimkan kepada seorang dokter,dokter tersebut selekas- lekasnya memberikan pendapatnya tentang sipenderita. Berhubung dengan sifatnya penyakit jiwa, ada kalanya sipenderita harus diobservasi, dan observasi ini meminta waktu, yang ditetapkan selama-lamanya 3 bulan.

2 dan 3. Cukup jelas.

Pasal 9.

1. Jika ternyata bahwa seseorang penderita penyakit jiwa tak dapat dipertanggungjawabkan menguasai harta bendanya, karena ia merusak, membahayakan keadaan disekitarnya dan lain-lain, maka harta benda penderita dilindungi oleh hukum; dengan pasal ini perlindungan hak milik sipenderita diserahkan kepada Hakim

Hakim pengadilan Negeri seyogyanya minta pertimbangan kepada instansi-instansi setempat seperti peradilan Agama atau badan-badan lain yang dianggap perlu oleh Hakim Pengadilan Negeri dalam hal pengelolaan harta-benda dengan pengetahuan/persetujuan ahli waris yang bersangkutan.

2 dan 3. Cukup jelas. -

Pasal 10.

Usaha-usaha lebih lanjut dari Pemerintah bagi penderita yang telah mendapat perawatan dan pengobatan meliputi penyaluran, penempatan, rehabilitasi dan bimbingan bekas penderita dalam masyarakat.

Usaha swasta dalam hal ini memerlukan bantuan dari Pemerintah. Penyelenggaraan ketentuan ini memerlukan juga kerjasama antara pelbagai instansi-instansi Pemerintah.

Pasal 11.

1. Pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam beraneka usaha demi kepentingan kesehatan jiwa, perawatan-pengobatan penyakit jiwa dan penampungan bagi penderita yang termasuk dalam pasal ini diawasi oleh Menteri Kesehatan.

Pemusatan pengawasan pada Menteri Kesehatan ini melekat pada pertanggungan jawabnya untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dan Negara.

2. Lihat penjelasan Pasal 3 sub e.

Pasal 12 s/d 14.


Cukup jelas.

--------------------------------

CATATAN

Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1966 YANG TELAH DICETAK ULANG

Iman adalah Obat Jiwa dan Fisik

Iman adalah Obat Jiwa dan Fisik.

Dr. Mohamad Daudah Commission on Scientific Signs of Qur'an & SunnahRabithah Alam Islami (nooran.org)
Diterjemnahkan & diringkas oleh: Fathuddin Ja’far

Sebelum revolusi sains dan teknologi dan munculnya berbagai peralatan canggih, manusia belum dapat memahami secara pasti mekanisme dan fungsi akal yang membedakan manusia dengan hewan dan pembatasan tempatnya pada otak. Perlahan-lahan tempat-temapt yang terkait dengan indera, bicara dan gerak ditemukan. Penemuan mutakhir yang amat mengagumkan ialah diketahuninya sentra di otak yang aktif disebabkan keimanan dan ibadah yang berfungsi untuk menyeimbangkan peran kejiwaan dan fisik. Hal tersebut menetapakan prinsip penciptaan bahwa iman adalah fitrah yang tertanam dalam jiwa manusia. Jiwa yang khusyuk akan mempengaruhi kesehatan jiwa dan fisik.
Peneltian-penelitian ilmiah akhir-akhir ini telah mengagetkan kita bahwa iman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya merupakan dorongan fitrah yang memiliki mekanisme dan berpusat di otak manusia. Bila seseorang tidak piawai dalam mengoperasikannya maka ia telah dengan sengaja untuk tidak berbeda dengan hewan yang mengakibatkan kehilangan keseimbangan jiwa dan fisik. Yang amat mengagumkan lagi ialah bahwa pengoperasian mekanisme tersebut sesuai dengan arahan-arahan agama yang mencerminkan gambaran yang amat sempurna, konprehensif dan bersih, sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an Al-Karim sebagai manhajul hayah (konsep hidup). Bukan hanya itu, akhir-kahir ini, dalam Al-Qur’an juga ditemukan berbagai fakta ilmiyah lainnya yang sangat menambah kekuatan ikan kita.Para ahli jiwa amat concern meneliti kaitan antara fisik dan psikis manusia dan pengaruh masing-masing di antara kediuanya. Akhirnya diketahuilah bahwa penyakit fisik memungkinkan terjadinya tekanan jiwa atau kemungkina berakar dari masalah kejiwaan (psikis). Lalu lahir sebuah cabang ilmu jiwa dengan nama Psychosomatic.
Dr. Badar Al-Anshori menjelaskan sebagian peneliti memastikan bahwa pessimism (pesimis) menambah kemungkinan besarnya manusia ditimpa penyakit fisik seperti kangker sebagaimana pesimis juga erat kaitannya dengan berbagai goncangan jiwa seperti stress, putus asa dan depresi.
Berbagai penelitian yang dilakukan terhadap penderita penyakit kangker menjelaskan adanya hubungan positif antara pesimis dan kecepatan penyebaran penyakit kangker tersebut. Perasaan putus asa juga menyebabkan cepatnya penyebaran penyakit kangker. Sebaliknya, iman dan ridha terhadap keputusan Allah menyebakan terjadinya self teratment (pengobatan mandiri) dalam sebagian kasus kesembuhan kangker.Sebagai berita gembiranya ialah ditemukannya sebuah pusat di otank yang aktif melakukan renungan (meditation) yang disertai ibadah dan mengembalikan fungsi fisik dasar kepada kondisi istirahat (state rest) yang mendukung fitrah keimanan dan pengaruh fisiknya.
Kesimpulan penelitian ilmiah yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2001 dari hasil penggunaan teknologi baru scanning terhadap otak yang dilakukan oleh sebuah team ilmiah yang dipimpin DR. Andrew Newberg, professor Radiology pada fakultas kedokteran Universitas Philadelphia, USA ialah : Kepercayaan kepada Allah adalah desain dasar (design in built) yang sudah ada dalam otak. Sebab itu, tidak mungkin seseorang dapat terlepas darinya kecuali dengan pura-pura buta terhadap fitrah yang lurus yang menjadikan manusia terdorong untuk beragama sepanjang sejarah.
Pengingkaram terhadap kecenderungan keimanan tersebut berarti mengabaikan kekuatan/kemampuan yang dahsyat yang berkembang sehingga memungkinkan seseorang mengenal kekuasaan Allah dengan berfikir dan meneliti ciptaan-Nya. Menurut Prof. Andrew Newberg, bahwa manusia dapat dikatakan diarahkan oleh satu kekuatan terhadap agama (religion for wired-hard). Sebabliknya, penelitian ilmiah sama sekali tidak mungkin menceritakan kepada kita secara langsung akan Dzat Allah… Akan tetapi ia dapat menceritakan kepada kita bagaimana Dia (Allah) mencipatakan manusia agar mereka mengenal-Nya dan beribadah kepada-Nya.
Penelitian Ilmiah juga dapat menceritakan kepada kita bahwa beribadah kepada Allah adalah tugas, sedangkan beriman kepada-Nya adalah tuntutan alamiiah sama halnya dengan makan dan minum. Otak manusia bukan hanya sebuah alat sebagai chip yang bertugas untuk beriman kepada Allah. Akan tetapi ia juga disiapkan untuk melaksanakan tugas ibadah untuk menjaga keselamatan jiwa dan fisik (physicist and physic) dengan arahan-arahan praktek aktif melalui sistematika saraf dan hormone yang saling terikat.
Dengan demikian, keyakinan kita akan keberadaan dan kekuasaaan Allah semakin bertambah. Jika tidak, untuk apa gunanya kekuatan/kemampuan dahsyat yang diberikan kepada manusia yang membedakan antara mereka dengan semua makhluk hidup di muka bumi? Sebab itu, iman kepada Allah dalam penelitian-penelitian ilmiah moderen bukanlah seperti filsafat dan khayalan masyarakat sebagaimana yang didengung-dengunkan oleh kalangan atheist (kaum darwinis evolutionist dan komunis) yang tidakaada sandaran ilmiahnya pada awal abad 20. Dugaan mereka telah nyata kegagalannya di mana mereka menduga bahwa manusialah yang menciptakan agama merke sendiri, khususnya setelah ditemukannya fakta ilmiah di atas bwa manusia telah Allah ciptakan beragama secara alami dan memberi mereka kekuatan/ kemampuan untuk mengenal dan beribadah kepada-Nya.
Sebagaimana seseorang akan bersih jiak ia rutin berudhuk (bersuci dari hadas kecil), kendatipun ia bukan muslim. Demikian pula ia akan meraih kebaikan jika ia praktekkan prilaku-prilaku ibadah seperti berfikir, khusyuk dan merenung, karena ia mengoperasikan pusat-puast yang mirip dengan pusat-pusat keimanan dalam otak yang bekerja untuk rileksasi dan terlepas dari perasaan-perasaan negative seperti ketakutan, kegelisahan, dan stress. Saat itulah seseorang berpindah dari kondisi keterasingan dan kesendirian kepada kondisi rileks dan tenang, kendatipun ia tidak mendapatkan jatah akhirat (karena tidak beriman kepada Allah).

Kamis, 22 Januari 2009

Salam...

Blog ini di dedikasikan untuk pribadi, lebih lanjut untuk kesehatan jiwa kita, dunia psikologi umumnya, terutama di Indonesia, bahkan untuk semesta....