* Oleh : Jim Supangkat
Penelitian psikofisiologi di universitas hawaii & ohio state university,as, tentang proses penularan emosi dan perasaan. emosi bisa menular, berawal dari dorongan menirukan ekspresi fisik orang lain.
Penelitian baru menunjukkan bahwa emosi itu menular. Berawal pada gejala mimikri -seperti pada bunglon.
"SENI mempunyai sifat infectious," kata Leo Tolstoy. Ungkapan seni, menurut pujangga Rusia ini, terutama berusaha menjangkitkan kandungan emosinya kepada publik, bukan membangun pengaruh lewat pikiran.
Penjangkitan emosi dalam pendapat Tolstoy itu, walaupun dekat dengan kenyataan, dimaksudkan sebagai kiasan. Namun, Psikolog Carl Gustav Jung membenarkan teori itu. Menurut Jung, bukan hanya ekspresi seni yang berjangkit. "Emosi secara umum juga menular," kata perintis psikoanalisa modern dari Swiss itu.
Teori Tolstoy dan Jung tersebut dibuktikan belum lama ini. Dua penelitian psikofisiologi, di Universitas Hawaii dan Ohio State University, AS, berhasil menguraikan proses penularan emosi dan perasaan itu.
Kedua penelitian tersebut menemukan penjangkitan emosi dan perasaan terjadi seperti penularan penyakit. Prosesnya spontan dan tidak disadari, dalam waktu tak sampai sedetik. Ini terjadi terutama pada jarak dekat, walau bukan melalui penyebaran virus, bakteri, atau baksil.
Kendati cuma membuktikan teori lama, kedua penelitian tadi dianggap para ahli membangun pemahaman baru tentang komunikasi perasaan dan emosi di antara manusia. Penelitian ini terpilih untuk dipublikasikan di The Review of Personality and Social Psychology yang akan terbit menjelang akhir tahun ini.
Pada masa lalu, penularan perasaan yang membuat seseorang bisa merasakan perasaan orang lain itu diyakini karena "akibat terpengaruh". Proses yang disebut "simpati" ini melibatkan pikiran seseorang.
Memang terdapat kontak batin yang terjadi otomatis tanpa sebab yang jelas. Inilah penularan, yang sudah disebut Tolstoy dan Jung itu, yang tak pernah terungkap seluk-beluknya selama ini.
Hubungan emosi yang tidak bisa diuraikan sebabnya (empati) dipercaya terjadi hanya antara ibu dan anak, atau di antara saudara sekandung. Dalam bentuk sedikit berbeda, kontak emosi semacam ini terjadi pula akibat bangkitnya emosi ke tingkat histeris. Misalnya, setelah mendengar tekanan suara dan irama yang memiliki ekspresi sangat kuat dan secara bertubi-tubi.
Penelitian di Universitas Hawaii dan Ohio State University itu menghasilkan batasan penularan emosi yang lebih jelas, bahwa penularan yang ditemukan para peneliti adalah kondisi emosional dan perasaan yang persis sama dengan kondisi pada sumber penularan. Dengan demikian, istilah penularan yang mereka gunakan tidak bisa disangkal kebenarannya.
Penularan emosi berawal pada dorongan menirukan ekspresi fisik orang lain. Misalnya menirukan ekspresi wajah, sorot mata, intonasi suara, atau gerak tubuh. Ekspresi ini dikenal sangat dipengaruhi emosi serta perasaan, dan sering dikatakan sebagai "jendela jiwa".
"Dorongan menirukan ekspresi orang itu tidak bisa dikontrol sama sekali," kata Dr. John Cacciopo, koordinator penelitian di Ohio State University. Dorongan ini seperti gejala mimikri pada binatang bunglon, yaitu perubahan fisik untuk menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar.
Jaringan saraf yang terlibat dalam reaksi mimikri itu jaringan saraf yang tidak dikendalikan pusat saraf di otak. Jaringan ini dikenal sebagai susunan saraf otonomik yang mengontrol pula detak jantung, reaksi refleks, dan ekskresi keringat.
Dalam penelitian mimikri yang terjadi otomatis itu dibuktikan oleh para peneliti dengan memonitor otot-otot muka responden. "Ketika memperhatikan ekspresi sedih atau marah, terjadilah perubahan-perubahan pada otot muka yang tidak terlihat mata," kata Cacciopo. Begitu ekspresi wajah atau gerak tubuh mengalami mimikri, emosi bahkan ikut melakukan penyesuaian. Inilah peristiwa penularan emosi. Dan proses inilah yang terjadi di bawah satu detik, di luar kesadaran responden.
Responden baru merasakan perubahan setelah emosi terakumulasi menjadi perasaan. Dr. Elaine Hathfield, pemimpin penelitian di Universitas Hawaii, meneliti khususnya bagian ini. Dari hasil wawancara intensif yang terpisah, terungkap bahwa kualitas perasaan yang menular dan tertular itu persis sama. Sementara si penular menyadari persis pangkal masalahnya, subyek yang tertular tidak sepenuhnya bisa mengindetifikasi perasaan yang dirasakannya.
Elaine Hathfield menyebutkan kepekaan tertular tidak sama pada tiap orang. "Kepekaan ini ada hubungannya dengan kemampuan sosialisasi," kata psikolog itu. Mereka yang tidak mudah tertular, bahkan mengalami kesulitan mensinkronkan perasaan, menurut dia, mempunyai masalah dalam berkomunikasi.
Hubungan penularan emosi dengan kemampuan sosialisasi adalah bagian sangat penting dalam penelitian Hathfield. Metode dan perangkat tesnya diharapkan di kemudian hari bisa digunakan untuk mengukur kondisi kejiwaan secara umum.
Senin, 26 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar