Cerita yang ditulis seorang ibu bernama Lesminingtyas ini saya dapatkan dari milis AirPutih. Intinya, berisi tanya jawab sang anak dengan psikolog. Karena sang anak dianggap bermasalah di sekolahnya. Dengan beberapa pengeditan, begini ceritanya…
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas). Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok inilah yang perlu didalami. Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali seminggu lagi untuk menjalani test kepribadian.Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang orangtua yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin ibuku :….” Dika menjawab “membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja”. Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika bermain bebas.Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan bermain puzzle, kapan bermain basket, kapan membaca buku cerita, kapan main game di komputer dan sebagainya. Tetapi ternyata permintaan Dika sederhana: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku …” Dika menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya, “Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu”.Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku tidak …” Maka Dika menjawab, “Menganggapku seperti dirinya”. Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak…” Dika menjawab, “Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa”. Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku berbicara tentang…” Dika menjawab, “Berbicara tentang hal-hal yang penting saja”. Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya.
Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang…”, Dika menuliskan, “Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku”. Keinginan Dika sederhana, ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku setiap hari…” Dika berpikir sejenak, kemudian menulis dengan lancar “Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”.Kadang saya pikir Dika sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap hari…” Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata, “Tersenyum”. Seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku…” Dikapun menuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”. Saya tersentak! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawadiambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata “Tole”, kependekan dari kata “Kontole” yang berarti alat kelamin laki-laki.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku…” Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”.Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling” kata suami saya.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan
Sumber : wandi.web.id
Selasa, 27 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar